19 Maret 2009

PELANGI(HABIS)

Kutabur sejuta mimpi terhadap puluhan gadis yang selama ini menyanjungku karena aku jagoan basket. Kusematkan hati palsuku pada perempuan yang selalu memujaku karena aku juara kelas. Kutebarkan pesona untuk menjerat hati meraka yang selalu mengejarku karena kegantengan dan kekayaanku. Kupermainakan hati mereka setiap saat karena aku memang suka mempermainkan mereka. Kuperlakukan mereka seperti barang dan mainan yang bila bosan langsung kubuang. Aku yang selalu dikelilingi gadis-gadis jelita, tapi tak pernah perduli perasaan mereka.

Namun, sebelas bulan yang lalu semua kesombongan dan kepercayaan diriku hancur. Aku bagai masuk ke dunia kegelapan, terpuruk, terperosok. Aku rendah diri, menghabiskan hari-hari di kamar tidurku ditemani foto mama. Mengurung diri tak mau melihat dan bertemu dengan siapa pun, kecuali mbok Sum, wanita paruh baya yang sudah puluhan tahun setia mengabdi buat keluarga kami.

Awan hitam berarak di langit pekat. Sore mendung mengiringi kepergianku ke pusara mama. Hari itu, ibu tercintaku itu berulang tahun yang ke tiga puluh lima. Kuletakkan setangkai lili putih kesayangannya di atas kuburannya. Kutatap lekat-lekat tulisan diatas pusara itu. Kueja satu per satu kata demi kata yang tertera di sana. Ariani Margaretta.

Wanita yang melahirkan aku itu telah pergi menghadap Sang Pencipta selamanya dan takkan pernah kembali. Lima tahun aku telah kehilangan belaian kasihnya. Lima tahun aku telah kehilangan senyum lembutnya. Tatapan sayang wanita yang kupuja itu telah hilang. Hilang dengan membawa kepedihan dan luka di hatinya. Luka atas pengkhianatan papa.

Mama memaafkan semua perbuatan papa setelah seribu kali kata maaf terucap dari bibirnya, setelah seribu permohonan keluar dari mulutnya. Ya, mama memaafkan papa. Tapi aku yakin mama masih terluka. Pancaran matanya yang dulu bersinar itu redup. Meski bibirnya tersenyum aku tahu hatinya menangis.

Aku membenci papa atas perbuatannya pada wanita yang sangat kusayangi itu. Aku bahkan tak pernah menghormatinya sebagai seorang ayah. Aku benar-benar marah pada pria yang telah menyakiti mamaku. Membuatnya terluka, membuatnya menangis dalam diam. Kepedihan yang akhirnya merenggut mama dari sisiku. Aku membenci papa bahkan sampai sekarang.

Aku memang membencinya. Membenci darahnya yang mengalir dalam tubuhku. Membencinya menjadi ayahku. Membencinya sampai ke sumsum tulangku. Membencinya sampai ke ubun-ubun kepalaku. Namun sebesar apapun kebencianku padanya, kelakuannya yang pernah melukai hati mamaku menurun juga padaku. Ya, aku mengikuti jejaknya. Air cucuran jatuhnya ke pelimbahan juga, sepertinya pepatah itu nyata padaku.

Aku melakoni peran sebagai lelaki yang suka mempermainkan gadis-gadis. Aku yang mengkhianati kekasihku demi gadis lain. Aku yang sering berganti hati dari satu gadis ke gadis yang lain. Aku yang tak pernah merasa bersalah pada mereka. Aku yang berulang kali menyakiti dan melukai hati mereka. Aku tak pernah sadar kelakuanku ternyata lebih buruk dari papa. Kelakuan yang akhirnya melahirkan karma buatku.

Sore itu saat terkelam dalam hidupku. Sore yang telah menghancurkanku berkeping-keping. Persimpangan jalan itu menjadi tempat naasku. Sepeda motor Kawasaki kesayanganku tergelincir saat aku meluncur kencang membelah angin menuju rumah kekasih gelapku. Jalanan licin yang basah oleh guyuran hujan senja itu membuatku terpelanting jatuh ke aspal. Tragedi itu tak bisa kuelakkan. Kecelakaan tragis itu akhirnya membuatku lumpuh. Pasrah dan lemah tak berdaya di kursi roda.

Semua kesombongan dan petualanganku berakhir sudah. Aku yang dulu dipuja dan disanjung kini terkulai layu. Aku tak percaya diri dengan keadaanku. Aku tak mau bertemu siapa pun. Aku membenci semua orang dan juga diriku sendiri. Satu per satu teman, sahabat dan kekasihku menjauh karena sikapku itu. Hingga akhirnya mereka benar-benar pergi dari kehidupanku. Aku benar-benar terpuruk hingga berniat mengakhiri hidupku.

Senyum manis seorang gadis yang menyapa lembut Mbok Sum pagi itu, membuatku mengurungkan niat untuk menyusul mama. Senyum yang kemudian menemani hari-hariku, meski dari kejauhan. Senyum yang membangkitkan semangatku untuk terus belajar. Aku meneruskan sekolahku di rumah dengan sistem home schooling. Senyum yang selalu hadir bersama embun pagi. Senyum yang selalu menyapa anyelir yang sedang merekah. Senyum yang seriang kicau kepondang.

Gadis berseragam abu-abu yang selalu kutatap diam-diam dari pojok jendela setiap pagi saat berangkat sekolah. Gadis yang tak pernah tahu aku selalu mengimpikannya. Tak pernah tahu aku selalu merindukanya. Tak pernah tahu aku selalu mengaguminya. Tak pernah tahu aku mencintainya. Gadis yang bernyanyi riang saat pulang sekolah sepanjang jalan bukit bambu. Gadis yang tak pernah tahu ada sepasang mata yang selalu menatapnya. Dan dia memang tak akan pernah tahu.

Bila malam menjelang wajah dan senyumnya tak bisa kunikmati. Aku hanya bisa memandangi rembulan sebagai pengganti dirinya. Menatap sinar bintang-bintang dari kejauhan sebagai pengganti pandangan matanya yang berbinar. Bersembunyi di balik selimut dari dinginnya malam sebagai pengganti hangatnya senyum manisnya.

Aku ingin malam cepat berlalu dan pagi segera menyapa agar aku bisa memandanginya lagi. Dari tempatku duduk setiap hari dapat kusaksikan semua tingkahnya. Senyumnya yang menemaniku dari kejauhan. Melihat matanya yang berbinar terang membangkitkan semangat hidupku yang telah layu. Gadis ayu yang kupuja dan kucinta. Gadis yang menjerat hatiku. Membuatku merindukannya dalam diam. Mencintainya dalam diam.

PELANGI, nama yang kusematkan padanya. Nama yang kupilihkan untuknya. Karena ku tak pernah tahu namanya. Dia pelangiku. Pelangi yang hadir di langit jiwaku. Pelangi yang menghiasi lazuardi anganku. Pelangi yang hadir usai hujan badai hatiku. Pelangi yang mewarnai hari-hariku. Pelangi yang datang persis saat hatiku gundah. Saat hatiku lara. Saat hatiku hancur. Saat aku sunyi, sepi dan sendiri.

Pelangi itu tak pernah bisa kujangkau. Tak kan pernah bisa kugapai. Takkan pernah bisa kuraih. Takkan pernah. Dia hanya bisa kupandangi. Hanya bisa kutatap. Hanya bisa kukagumi. Dari Kejauhan!

Purnama demi purnama berlalu. Cintaku padanya semakin dalam. Aku tak kuat lagi hanya mengaguminya dari jauh. Tak sanggup lagi hanya mencintainya dalam diam. Aku ingin dia bukan hanya menemaniku dari kejauhan, bukan hanya menemaniku dalam mimpi.

Tadi siang, Mbok Sum memberiku jalan keluar supaya aku tak rendah diri jika suatu saat bertemu dengannya. Dia menyarankan aku ikut terapi agar bisa berjalan lagi. Perempaun asal Purwakarta yang sudah ikut kami sejak aku belum lahir itu pernah mendengar dokter mengatakan pada papaku kalau aku masih punya harapan untuk bisa berjalan kembali. Semangatku kembali menggelora. Aku bertekad untuk melakukan terapi itu.

Aku pun menemui dokter untuk konsultasi. Untuk pertama kalinya setelah sekian bulan aku keluar dari rumah mewah di kaki bukit itu. Sepanjang perjalanan aku bisa menghirup udara segar menuju klinik dokter pribadi keluarga kami. Di sana, aku berteriak kegirangan saat mendengar kata-katanya, kalau dengan terapi aku bisa berjalan kembali. Aku menjadi tak sabar dan bersemangat untuk cepat-cepat mulai terapi. Keinginanku hanya satu bila bisa berjalan lagi. Menemui pelangiku.

Hari ini aku akan menjalani terapi untuk pertama kalinya. Di dalam kamarku aku bersiul gembira. Di luar langit mendung menyelimuti. Angin berhembus kencang membuat daun-daun seroja di tikungan jalan di depan rumahku berguguran. Burung gereja berterbangan di angkasa. Sekumpulan bocah berlari ke sana kemari. Riang tertawa bahagia.

Angin makin berhembus kencang. Gumpalan awan juga makin pekat. Entah mengapa hatiku tiba-tiba diliputi keresahan. Ada perasaan lain yang menggantung di kalbuku. Aku gelisah, sambil terus memandang keluar jendela. Menanti sosok pelangiku yang akan berangkat ke sekolah. Aku harus melihatnya dulu sebelum pergi untuk terapi.

Yang kutunggu akhirnya muncul juga. Tapi aku melihat pelangiku tak seperti biasanya. Dia nampak murung. Matanya sayu. Senyumnya terkatup. Raut wajahnya kusam. Ada apa dengan Pelangiku. Sedang gundahkah dia? Sedang bingungkah dia? Sedang ada masalahkah dia? Sedang bersedihkan dia? Sedang terlukakah dia? Ada apa dengan pelangiku.

Pagi itu aku kehilangan senyumnya. Senyum yang selama ini menemani hari-hariku. Senyum yang menyejukkan kalbuku, senyum yang membuatku nyaman dan tentram. Aku kehilangan tawa renyahnya. Tawa yang menghiburku, tawa yang membuatku bahagia. Aku kehilangan keramahannya. Aku kehilangan candanya. Aku kehilangan mata berbinarnya. Aku kehilangan rona pipinya. Aku kehilangan raut bahagianya.

Andai aku punya keberanian, andai aku punya kekuatan, andai aku tak rendah diri, andai aku tak cacat seperti ini, tentu akan kuhampiri dia. Kupeluk erat tubuhnya, kudekap dan kurengkuh dia. Kuhibur hatinya dengan candaku. Kubelai lembut rambutnya. Kucium hangat pipinya. Kuhapus bening air matanya. Kutemani hari kelabunya.

Akan kuteriakkan kata cinta sekerasnya agar seisi bumi tahu kalau selama ini aku menyukainya. Akan kubisikkan ditelinganya kalau selama ini aku sayang padanya. Akan kugenggam erat tangannya agar dia tak lepas dariku. Akan kusimpan hatinya dihatiku. Jiwanya dijiwaku. Raganya diragaku. Nafasnya dinafasku.

Andai saja aku bisa bertemu dengannya sekali saja. Ya, sekali saja, walau hanya sedetik aku ingin mengatakan betapa aku mencintainyanya. Betapa sayangnya aku padanya. Betapa inginnya aku menghabiskan hari-hari bersamanya. Oh, andai saja aku punya kesempatan itu. Tapi semua telah usai. Semua telah terlambat. Semua berakhir. Takkan pernah aku mendapatkan kesempatan itu.

Aku kehilangan dirinya. Aku tak melihat Pelangiku lagi. Itu hari terakhir aku menatapnya. Bahkah berminggu-minggu setelah itu. Aku tak pernah melihatnya dan tak pernah menemukanya. Kemanakah pelangiku?

Hari-hariku semakin sunyi. Impianku hancur berkeping. Harapanku musnah berantakan. Pelangiku telah hilang. Pergi membawa mimpiku bersamanya. Pergi membawa kenanganku bersamanya. Pergi membawa semangatku bersamanya. Pergi membawa harapanku bersamanya. Dan pergi membawa jiwaku bersamanya.

KISAH DUA TEMAN MASA KECILKU(HABIS)

Dalam perjalanan menuju ke tempatmu, aku melewati kebun Nek Syah, kamu masih ingat kan Wan, di kebun itu banyak batang jambu air. Dulu, kita sering mengambil buah jambu di sana. Tapi kalau musim perang-perangan tiba, justru bunganya yang kita petik, untuk peluru Bude Trieng. Aku ingat setiap kali main tembak-tembakan, aku pasti tertembak duluan, aku hanya meringis menahan sakit. Entah bagaimana caranya, kalian berdua selalu saja dapat menemukan tempat persembunyianku. Aku selalu kalah.
Siapa sangka Wan, Kemarin, kalian berdua main perang –perangan lagi. Tak ada aku di sana. Kamu, teman-temanmu, di satu pihak. Dia dan pasukannya, di pihak lain. Kali ini, kalian benar-benar saling menembak. Perang betulan. Bukan peluru dari bunga jambu lagi. Tapi dari timah. Dulu kalau kena peluru bunga jambu paling hanya sakit dan lebam di sekujur tubuh saja. Peluru tajam itu, merenggut kau dan Fikar, dari orang-orang yang kalian sayangi, dari saudara, sahabat, teman. Dan dariku.
Benarkah peluru yang bersarang didada Fikar senja itu dari timah panas yang kamu tembakkan. Dan apakah peluru yang menembusi jantungmu Justru keluar dari senjatanya. Membayangkan bahwa sore itu kalian saling menembak membuatku sangat terpukul. Tapi tak ada yang bisa kulakukan. Karena aku tak punya kekuatan untuk menghentikan semua itu. Tak ada dayaku mencegah peristiwa tragis itu.
Kau tahu Wan, aku sedang melayani pembeli saat mobil ambulans lewat di depan kiosku. Ambulans yang ternyata membawa jenazahmu di dalamnya. Semenit yang lalu orang-orang bilang telah terjadi kontak senjata di perbukitan. Deg! Jantungku berdegup kencang, perasaanku tiba-tiba tak enak.
Mataku gelap, kepalaku berkunang-kunang, Lututku lemas, aku tak sanggup lagi berdiri. Dan langsung terduduk lesu di depan kios begitu mendengar kau tertembak. Sesaat aku terdiam. Membisu. Sekuat apapun aku mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu mendengar kabar tentangmu, aku tetap tak kuat menerima kenyataan itu.
Umi! Aku ingat umi, tanpa perduli apapun lagi, dengan sisa tenaga, berlari ke rumahmu. Ku lihat Umi, duduk di ruang tamu, bersandar di tembok rumah. Diam, membisu, tak ada air mata. Sudah habis terkuras. Hatinya hancur, terpaku, menanti jasadmu di bawa pulang dari rumah sakit.
Sore itu, hari terkelam dalam hidupku. Kamu dan Fikar telah terenggut dari kehidupan ini. Apakah kamu tahu, saat kontak senjata itu, diantara pasukan yang kalian serang ada Fikar di dalamnya. Pertanyaan yang sama juga kutanyakan padanya tadi. Apakah dia tahu kamu yang memimpin serangan itu. Sempatkah kalian saling bertatap muka. Sempatkah kalian saling mengenal. Sempatkan kalian bertegur sapa, walau hanya sesaat. Sempatkah. Aku tak menemukan jawaban itu di sana. Dan aku juga tak akan menemukan jawaban itu darimu.

***
Lebaran bulan lalu, saat kamu pulang ke rumah, aku senang bertemu denganmu lagi. Meskipun waktu itu, kamu tampak kusut, rambut panjang, berkumis dan brewokan, sedikit kurus dan tak terurus. Aku senang melihatmu sehat dan masih hidup. Kamu tahu, aku cemas menantikan kepastian kabar tentangmu. Karena santer terdengar, kamu meninggal karena sakit tifus di hutan. Umi malah sempat pingsan mendengar isu itu. Aku dan istriku menemaninya selama dua hari di rumahmu. Wanita baik hati itu sangat terpukul atas berita yang dia dengar. Meski dia terlihat tegar sejak Abi menghilang dan Bang Lah meninggal, tapi aku yakin dia belum siap kehilangan kamu juga Wan.
Masih terngiang di telingaku kata-katamu agar aku menjaga Umi bila kamu pergi kelak. “Titip Umi ya kalau aku pergi, bantu dan sering-sering menjenguknya, aku percaya padamu,” pesanmu, sambil menggenggam erat tanganku. Matamu berkaca-kaca, sesaat kemudian mengalir tak terbendung. Kamu menangis. Pertama kalinya sejak kematian Bang Lah, aku melihat lagi air mata itu. Kamu hapus bulir-bulir bening yang keluar dari sudut mata kelam itu dengan ujung jarimu. Isak tangismu malam itu menyayat hatiku, perih!. Malam terakhir kalinya aku bertemu denganmu dalam keadaan hidup.
Kamu bertanya tentang teman-teman kecil kita, bagaimana kabar mereka sekarang. Termasuk Fikar. “Dia kan sudah jadi tentara, apa dia ikut tugas di sini,” tanyamu padaku saat itu. Meski kamu tidak mengungkapkan dengan kata-kata, aku yakin Wan, kamu merindukannya. Meski kamu berseberangan jalan dengannya. Tapi dari lubuk hatimu aku yakin, benar-benar yakin kalau kamu masih sangat menyayanginya.
Aku ungkapkan perasaanmu itu saat di pusaranya tadi, kalau kamu menanyakan kabarnya. Kalau kamu masih memperhatikannya, kalau kamu sebenarnya rindu ingin bertemu, sekali saja. Dan kalau kamu sesungguhnya tidak pernah membencinya, walau kalian tak sejalan.
Tadi aku juga menjelaskan padanya, mengapa kamu sampai menempuh jalan hidup bergerilya di hutan. Aku ingin dia mengerti alasanmu ikut pemberontakan. Mungkin dia sudah pernah mendengarnya dari saudara atau teman-teman kita. Tapi aku tetap ingin memberitahukan tentang perjalanan hidupmu, yang mungkin saja tidak diketahuinya. Karena setelah lulus Sekolah Menengah Pertama, dia pindah ke kota lain.
Kukatakan padanya, hari itu saat terjadi penggerebekan rumah warga di kampung kita, banyak yang diambil. Salah satunya Abi. Sejak itu tak ada kabar apapun tentang Abi, seperti hilang ditelan waktu. Peristiwa itu membuatmu sangat sedih dan mulai timbul rasa benci terhadap orang-orang yang telah merenggut kasih sayang dan belaian seorang ayah, dan tak kan pernah kembali lagi ke rumah. Saat itu kamu masih sangat muda dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Kamu baru ikut bergerilya setelah abangmu, pria yang sangat dikagumi dan disanjung Fikar, ditemukan tewas tertembak di dekat irigasi, tak jauh dari tempat kita biasa bermain layangan dulu. Bang Lah bukan hanya idola dia, tapi juga panutan semua orang, tua muda, anak-anak, pria dan wanita. Sifatnya yang santun dan suka menolong tetap menjadi kenangan sampai sekarang.
Fikar memang begitu mengagumi lelaki perkasa itu. Aku ingat suatu sore ketika sedang bermain petak umpet kakinya terkena pecahan kaca. Darah terus mengucur keluar dari kaki kanannya, dia mulai menangis. Seketika itu juga Bang Lah yang sedang memotong rumput, menggendongnya pulang ke rumah sambil menenangkannya. Karena Miwa Jah tidak ada di rumah, dia langsung membawanya ke rumah sakit.

***
Ketika jenazah Bang Lah dimakamkan, kamu bersumpah akan membalas kematiannya. “Aku akan membunuh orang-orang biadap itu, siapapun dia, akan kubalas, darah dibayar darah, nyawa dibalas nyawa,” teriakmu di pusara abang tersayangmu. Sejak saat itu kamu mulai keluar masuk hutan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Terlibat penyerangan demi penyerangan. Sehingga semakin hari semakin jauh dari rumah, kita pun jadi jarang bertemu.
Wan, aku berharap hal yang sama padamu, semoga kamu juga mengerti jalan hidup yang ditempuh Fikar. Kamu tahu kan, itu cita-cita masa kecilnya. “Kalau sudah besar aku mau jadi tentara dan menembak musuh, pasti asik dan menyenangkan, akan kutembak orang jahat banyak-banyak,” katanya saat kita tanyakan mau jadi apa dia nantinya. Apakah dia menikmati menembak musuh selama ini. Senangkah dia menembak orang-orang yang disebut pengacau itu. Apakah dia juga senang dan puas menembakmu. Apakah dia gembira dan kegirangan menyarangkan peluru ditubuhmu.
Cita-cita itu akhirnya mengantar dia dan kamu ke peristrirahatan terakhir. Di hari yang sama, dua teman masa kecilku tewas ditembus peluru. Kamu dengan prinsip, tugas, tujuan dan keyakinanmu. Fikar dengan prinsip, tugas, tujuan dan keyakinannya juga.
Sejak semalam aku menemani Umi. Dia telah kehilangan semuanya. Abi, Bang Lah dan Kamu. Dia tinggal seorang diri kini. Kami menghiburnya dari duka yang terus menerus dipikulnya. Dia terus berusaha tetap tegar dan kuat. Tapi mungkin hatinya hancur berkeping. Aku telah berjanji padamu akan menjaganya setelah kau tiada. Akan aku penuhi janji itu. Umi telah kuanggap sebagai ibuku sendiri.
Kamu tahu Wan, Umi sempat melihat jasad Fikar untuk terakhir kali. Dia berdoa dan mencium kening teman masa kecilmu itu. Dia meneteskan air mata melihat tubuh kaku yang terbaring dihadapannya. Lelaki yang dulu sering membantunya memetik kelapa. Aku tahu masih ada rasa sayang terhadap pria yang ketika kecil dulu sangat menyukai gule Pliek bikinannya. Tak ada kebencian di mata itu. Meski mungkin dia lah yang telah membuat buah hatinya, kamu, tewas diterjang peluru.
Langit mulai gelap. Sayup-sayup terdengar suara alunan ayat suci dari meunasah desa. Kelawar berkelompok terbang di angkasa. Daun-daun beringin terus berguguran. Belalang di daun jarak pun telah menghilang. Aku harus pulang. Tapi aku akan sering ke tempatmu dan Fikar. Berdoa di pusara kalian. Selamat tinggal teman.

PENYESALAN(HABIS)

“Mbak, hari ini hanya segini yang kita dapat,”
Tangan mungil bocah lelaki itu menggenggam kaleng susu bekas. Di dalamnya ada uang receh senilai sembilan ribuan. Dijulurkan kaleng itu ke hadapan gadis muda yang masih duduk di depannya.
“ Besok kita cari uang lagi,”
Dipandanginya koin didepannya. Dihelanya nafas panjang. Gurat kekecewaan makin memuncak dari raut wajahnya. Uang segitu tentu saja tidak cukup untuk membayar tunggakan SPP yang sudah enam bulan itu. Dia makin gamang. Satu-satunya harapan sekarang hanya tinggal menjalankan ide yang telah dipikirkannya seharian tadi. Dia berharap cara itu berhasil meyakinkan ibunya agar mengizinkannya tetap sekolah.
Malam semakin merayap naik. Cahaya bulan tampak temaram tertutup awan. Kedua bocah sudah tertidur pulas dalam mimpi-mimpi indahnya. Di pojok ruangan, dia melihat ibunya yang sedang menyusun kardus. Perlahan didekatinya perempuan yang matanya terlihat lelah dan suram itu.
“ Pokoknya aku tetap sekolah, atau ibu mau lihat aku mati ,”
Ancamannya membuat perempuan itu kaget. Hanya sedetik dia terperanjat, namun kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya. Keputusannya sudah bulat. Dia tak sanggup lagi membiayai sekolah putrinya. Penghasilannya semakin hari semakin berkurang. Sementara biaya sekolah dan kebutuhan hidup lainnya malah semakin tinggi.
Dia tahu keputusan itu tidak bisa diterima anaknya, tapi tak ada jalan lain selain berhenti sekolah. Meski dia tahu anak perempuanya itu rajin, tekun dan pintar. Nyatanya kalau cuma mengandalkan uang dari hasil memulungnya tentu tak mencukupi. Selama ini tak ada bantuan dan beasiswa untuk anaknya itu. Mereka hanya sebatas memuji, tapi tak pernah membantu mengatasi kesulitan biaya sekolah.
“Baik, jadi ibu lebih suka aku mati,”
Tiba-tiba pergelangan tangan kiri putrinya mengucurkan darah. Seketika itu wanita itu berteriak histeris, sambil menutupi asal darah yang terus mengucur keluar dari pergelangan tangan anaknya, dengan kedua telapak tangannya. Jeritan kerasnya membangunkan kedua bocah yang sedang terlelap. Dia terus memegang pergelangan tangan itu sambil mendekap buah hatinya yang mulai terkulai lemas.

***
Senyum manis wanita paruh baya meyembul dari balik pintu. Kedua belah tangannya menggenggam erat nampan coklat berisi sepiring nasi lengkap dengan lauk dan segelas air. Dia melangkah mendekati bibir ranjang tempat gadis yang masih terbaring lemas. Lalu diletakkannya nampan itu di atas meja.
“ Kamu makan dulu ya, biar nggak lemah terus,”
Gadis itu perlahan bangkit dari tempat tidur. Diambilnya piring nasi dari atas nampan. Lalu dia pun mulai makan dengan lahapnya. Selama ini tidak pernah dia menikmati makanan selezat itu. Matanya berbinar, dia menyunggingkan senyum pada wanita yang berdiri di sampingnya.
Dia kembali mereka-reka bagaimana bisa sampai ke tempat asing itu. Dia baru tahu sempat pingsan selama setengah jam. Dia hanya ingat waktu itu tangannya terasa perih, lalu kemudian semuanya gelap. Dia memang pingsan di hamparan kebun kosong di belakang rumah mewah itu. Rumah yang bak istana dalam buku cerita dongeng yang sering dibacanya.
Tinggallah kini dia di rumah itu. Menjadi tuan putri yang disanjung dan dipuja. Dia dimanja, disayang, dikasihi dan dicintai. Bagai mimpi yang jadi kenyataan. Wajahnya berseri sepanjang hari. Senyumnya pun merekah sepanjang malam.

***
Perempuan itu hanya bisa meratap sedih. Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun. Menanti putri kesayangannya pulang. Deraian dan tangisan tak terbendung sepanjang waktu. Air mata itu pun terkuras habis, mengering. Tubuhnya semakin ringkih. Dia terkapar layu di pembaringannya.
Dia hanya terbaring menanti keajaiban. Menyisakan sedikit asa buat hatinya. Mencoba menghibur laranya detik demi detik. Berharap suatu hari buah hatinya kembali ke pangkuannya.
Dua tahun lamanya menanti dalam ketidakpastian. Dua tahun menunggu kembalinya sang gadis ayu tanpa hasil. Dua tahun yang melelahkan. Dua tahun yang menguras segalanya.
Tidakkah remaja itu tahu, kalau ibunya sangat mencintainya. Kalau ibunya sangat memujanya. Kalau ibunya sangat merindukannya. Kalau ibunya ingin mendekapnya. Kalau ibunya juga terluka karena tak mampu membiayai sekolahnya lagi. Mungkin dia memang tidak tahu, atau tidak mau tahu.
Kepergian gadis itu terus diratapi. Kepergian yang diartikannya akibat kesalahannya. Kesalahan yang bahkan membuat hatinya sendiri tak memaafkan ketakberdayaannya. Dia menyalahkan dirinya sendiri. Dia menyesali itu. Bahkan sampai mati.
***
“ Dua orang tewas, puluhan rumah habis terbakar,”
Headline surat kabar Nasional itu menarik perhatiannya. Disela-sela sarapan pagi, dia terus membaca baris demi baris berita kebakaran tersebut. Entah mengapa perasaannya diliputi kecemasan. Jantungnya berdegup kencang. Kata-demi kata yang dibacanya malah semakin membuat hatinya gundah.
Perasaan aneh itu terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Matanya seakan tidak percaya saat membaca paragraph “dua bocah lelaki yang tewas terpanggang diidentifikasikan bernama Pardi dan Tono. Mereka hanya tinggal berdua sejak ibunya, Karyosih, meninggal dua minggu yang lalu. Sehari-harinya mereka biasa mengamen di perempatan lampu merah,”
Kalimat yang membuat dadanya sesak, jantungnya seakan berhenti. Yang membuat nafasnya tak teratur. Tangisnya pecah, meraung dan menjerit pilu, membahana ke seluruh ruangan. Pagi yang menimbulkan lara di rumah mewah itu.
Diratapinya jenazah dua bocah yang telah jadi arang itu. Tangisnya makin memilukan. Matanya sembab karena tak hentinya mengeluarkan air mata. Berkali-kali dia jatuh pingsan saat prosesi pemakaman.
Kedua bocah itu dikuburkan di samping pusara sang ibu yang meninggal akibat rasa sedih dan rindu yang luar pada anak gadisnya yang tak kunjung pulang.
Ditatapnya gundukan tanah merah itu. Terbayang kembali hari-hari yang dilaluinya bersama ibu dan kedua adiknya, yang kini terbaring damai di peristirahatan terakhir mereka.
Dikenangnya perjuangan ibunya menjadi seorang pemulung untuk menghidupi mereka. Untuk membiayai sekolahnya. Dia ingat ibunya yang sakit-sakitan itu bekerja keras setiap hari, bahkan tanpa istirahat. Sementara dia hanya pergi ke sekolah tanpa sedikit pun membantu ibunya. Dia hanya belajar, malas-malasan dan tidak perduli bagaimana sulitnya hidup mereka. Dia bahkan kemudian marah dan membenci ibunya.
Air matanya makin deras mengucur. Melayang kembali pahit-getir hidup yang dijalani kedua adiknya. Mereka rela mengamen demi membantu ibunya. membantu membiayai sekolahnya. Mengamen di tengah terik matahari. Atau bahkan di tengah guyuran hujan. Terlintas kembali wajah-wajah tirus kedua bocah itu saat berjuang untuk mendapatkan receh demi receh. Sementara dia hanya bisa mengeluh dan tetap tak mau perduli. Hatinya bagai diiris pisau mengenang semua itu.
Dia bahkan tak pernah mau tahu bagaimana kehidupan ibu dan adik-adiknya sejak dia tinggal pergi dua tahun yang lalu. Tak pernah sedetik pun terlintas dalam benaknya untuk menjenguk mereka di gubuk reot itu. Atau bahkan hanya menatapnya dari kejauhan. Dia terlalu bahagia sehingga tak sedetik pun mau memikirkan mereka. Tak sedetik pun.
Di atas pusara mereka bertiga, dia menyatakan penyesalannya. Penyesalan yang datang terlambat. Penyesalan yang hanya menyisakan duka. Penyesalan yang akan menghantuinya seumur hidup. Bahkan mungkin dibawanya sampai mati. Penyesalan yang entah dengan apa ditebusnya. Saat meninggalkan pusara, terdengar kata yang begitu lirih terucap dari bibirnya,” Maafkan aku!”

17 Maret 2009

KISAH DUA TEMAN MASA KECILKU ( I )

Langit di ufuk barat mulai kemerahan. Burung-burung berarak pulang ke sarang. Seekor belalang hinggap di daun jarak muda. Rumput ilalang bergoyang tertiup angin senja. Aku masih di sini, di depan gundukan tanah, tempatmu, teman masa kecilku beristirahat. Di bawah pohon beringin.
Di sana, dihamparan sawah, bocah-bocah kecil bertelanjang kaki asik bermain layangan, tertawa, bercanda riang. Seperti kita dulu, riang dan gembira. Masih kah kau ingat, Wan! Dulu, aku yang membuatkan layangan untukmu dan Fikar. Aku selalu mentertawai layangan hasil karya kalian yang tidak pernah mau naik menembus awan.
“Jangan tertawain aku, ajari gimana cara buatnya” begitu katamu, setiap kali aku mengejek layanganmu yang tidak mau mengangkasa itu. Berkali-kali aku mengajarimu, tapi layangan yang kau buat tak pernah bisa terbang. Ada kepuasan yang terpancar dari raut wajahmu bila layangan yang ku buat bisa naik setinggi langit. Pernah, kita keasikan main layangan hingga magrib, sehingga tidak shalat berjamaah di meunasah. Teungku Lem lalu menghukum kita, mengisi bak air wudhuk usai mengaji.
Pinggangku pegal. Sebentar-sebentar aku istirahat, duduk ngaso di teras meunasah. Kalian terus menimba air, tidak marah melihatku bermalas-malasan saja. Aku tahu, itu karena kalian mengerti dan sangat sayang padaku. Aku memang cepat capek karena badanku kurus dan sering sakit-sakitan. Tidak seperti kalian, yang tubuhnya sehat dan kuat. Badan kalian yang besar itu membuat teman-teman lain kalah kalau berantem. Bila ada anak yang mengejek dan menggangguku, kalian pasti siap membela.
“Jangan beraninya sama yang kurus, hadapi aku dan Fikar, ayooo..maju kalian” demikian tantangan yang kalian ucapkan kepada anak-anak bila mereka memukulku. Melihat tubuh kalian, mereka sering ketakutan dan lari terbirit-birit. Kalau pun ada yang berani menerima tantangan, mereka pasti kalah berkelahi.
Aku ingat ketika kalian memukul tangan Si Din, anak Cek Li yang kerja di Kantor camat, dengan galah karena membuang bola kastiku ke dalam selokan kotor dan bau. Ayahnya melaporkan kelakuan kalian kepada Abi, lalu kamu dimarahi dan dipukul pakai rotan oleh Abimu itu, tak ada suara tangis yang keluar dari mulutmu. Tak ada air bening yang tumpah dari sudut mata elangmu. Walau ada bekas di tangan dan punggungmu yang gagah, tapi kau tetap kuat dan tegar. Kini, tubuh yang kuat itu terbaring, di sini, di dalam gundukan tanah ini.
Langit semakin merah. Anak-anak itu mulai pulang, berjalan beriringan menyusuri pematang. Tangan mengamit layangan. Masih bersenda gurau dan tertawa lepas. Tanpa beban. Hampir satu jam aku disini, menemanimu Wan. Aku masih enggan beranjak pulang. Aku masih ingin bersamamu sesaat lagi. Masih banyak yang ingin kuceritakan....
Sebelum ke sini, aku baru saja dari tempat peristirahatan terakhir Fikar. Di sana, di samping tempat pembaringan terakhir ayahnya. Di sebelah rumah lama Miwa Jah. Ya, di sana kini dia tertidur panjang, di dekat rumah masa kecilnya, rumah di mana dia dilahirkan. Rumah yang dulu kita jadikan tempat persembunyian saat main petak umpet. Sesuai pesan terakhirnya. Dia terbaring di sana Wan, hanya beberapa ratus meter dari tempat peristirahatanmu sekarang.
Aku bilang padanya, kemarin pagi, aku baru melihat wajah gantengnya itu. Hanya dari kejauhan, saat dia menaiki truk, melempar senyum pada seorang anak kecil yang melintas dengan sepeda di depannya. Dia sempat melambaikan tangan, tersenyum pada Pakwa Gani, penjual buah, yang dulu sering kita mintai rokok daun nipah. Kamu tentu masih ingat, Fikar sering bergaya ala jagoan kalau lagi mengisap rokok daun.
“Sok gaya, coba kalau hebat, hembuskan asap seperti lingkaran,” tangtangmu saat itu.
“Baik, lihat aja, aku pasti bisa,” jawab Fikar enteng.
Dia lalu memperagakannya, asap rokok dihembuskan berbentuk lingkaran. Dia berhasil, sekali, kemudian dia batuk-batuk sambil membuang sisa rokoknya. Kita pun tertawa mengejeknya, begitu juga Pakwa Gani, dia ikut tersenyum, “jangan banyak merokok, nggak baik,” sarannya saat melihat bocah beralis tebal itu masih terbatuk-batuk.
Ya, kemarin, dia melambaikan tanganya pada lelaki yang sudah ubanan itu. Lambaian terakhir!! Aku terus menatapnya, dari balik pintu kios tempatku berjualan, sampai truk menghilang di persimpangan jalan. Itu kali kedua aku melihatnya di pos itu. Tapi aku tak berani untuk mendekatinya dan mengajaknya ngobrol. Aku takut dan malu. Padahal aku ingin sekali menyapanya. Menyapa teman masa kecilku itu. Mengajaknya bernostalgia setelah sebelas tahun tidak bertemu. Kalau saja aku tahu dia tak kan kembali lagi, aku akan memberanikan diri menyapa dan memeluknya walau hanya sedetik. Ya, walau sedetik. Aku menyesalinya.
Melihat senyumnya pagi itu, dia masih seperti Fikar yang dulu kita kenal Wan. Ramah dan murah senyum. Senyum yang menggemaskan Kak Nong. Senyum yang membuatmu mengejek dan mengatainya genit. “Kayak perempuan saja, senyum sini senyum sana,” komentarmu saat itu. Dia malah cengar cengir sambil menggoda gadis-gadis yang lewat di depan kita saat pulang mengaji. Dia terus mengumbar senyum sepanjang jalan malam itu. Dan hari ini, senyum itu hilang Wan. Telah hilang. Tak akan pernah terlihat lagi. Selamanya. (bersambung).

16 Maret 2009

PENYESALAN

Bersandar di batang mahoni yang lapuk, dia duduk terpaku menatap hamparan rumput. Sepotong kayu yang digenggam di tangan kanannya diketok-ketokkan ke tanah. Wajahnya kusut. Rambut sebahunya awut-awutan. Tangan kirinya diperban. Matanya menerawang jauh, dengan tatapan kosong. Tiba-tiba dia tengadahkan wajahnya ke langit. Dipandanginya langit mendung dengan gumpalan awan tebal dan pekat itu. Lama…lama…. Dan lama.
Gerimis mulai turun, membasahi tubuhnya yang diam terpaku, bergeming, bak pantung, tak bergerak. Kembali, ditengadahkan wajahnya ke angkasa. Dipejamkannya mata sendu itu. Hanya beberapa saat. Lalu perlahan dibukanya kelopak matanya. Perih! Dia merasakan tangannya begitu perih. Balutan perban dipergelangan tangannya memerah. Luka bekas sayatan pisau itu mengucurkan darah lagi. Angin menghempas keras kulitnya, menusuk sampai ke tulang. Dingin.
Pandanganya mulai samar, berputar, sesaat kemudian gelap. Dia terkulai layu di bumi. Angin senja terus berhembus menusuk pori-porinya. Gerimis pun ikut menemani. Tubuh itu tak bergerak, diam tergeletak di tanah. Beberapa saat.
Dia merasakan tubuhnya mulai hangat. Aroma melati tercium dari hidung bangirnya. Matanya terbuka sekejap, lalu menutup lagi. Kali ini, kelopak mata itu terbuka lama. Dia tertegun. Tempat itu terasa asing baginya. Lemari tiga pintu ukiran Jepara berdiri kokoh di depannya, dinding warna biru muda membuat sejuk matanya memandang. Kamar itu luas, indah dan cantik.
Aroma melati masih terasa menembus rongga hidungnya. Di sana, di atas meja kecil, di sudut ruangan, melati putih menjuntai dari vas coklat bermotif naga. Tempat tidur yang empuk menopang tubuhnya yang masih terbaring lemas. Dia merasa sangat nyaman dan damai. Dia masih terpaku, terpana seorang diri. Inikah surga?

***
“Kamu bantu ibu aja,”
Dia merajuk, duduk bersandar di tiang penyangga yang mulai keropos, di tengah-tengah ruangan pengap pagi itu. Mukanya ditekuk, pandanganya tertuju ke lantai tanah. Dimainkannya ujung rok motif kembang yang dikenakan dengan jari- jari tangannya. Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir tipisnya. Dia masih diam terpaku.
“ Kita tak punya uang sebanyak itu,”
Seorang wanita berbaju lusuh dan kumal berdiri di depannya. Perlahan dia melangkah, kakinya pincang, urat-urat di tangannya terlihat menonjol. Rambutnya mulai ubanan. Umurnya empat puluh tahun. Namun wajahnya terlihat jauh lebih tua dari usianya.
Didekatinya gadis yang sedang duduk didepanya. Dari tempatnya berdiri ditatapnya remaja yang sedang merajuk itu, dia lalu duduk tepat di hadapan anak perempuan yang tetap menundukkan kepalanya tersebut. Perlahan, dijulurkan tangannya ke kepala sang gadis, mencoba membelainnya. Namun tiba-tiba gadis itu menepis tangannya. Mata sayu perempuan itu tersentak kaget, badannya terdorong beberapa senti ke belakang. Rona kekecewaan terpanjar dari wajahnya. Jelas hatinya terluka! Sesaat dari sudut mata yang mulai berkerut itu mengalir air bening. Wanita itu menangis.
Dia bangkit dari tempat duduknya, dengan kaki yang terpincang-pincang, melangkah ke luar rumah bedeng itu. Sayup-sayup masih terdengar sesenggukannya. Diambilnya tumpukan kardus-kardus bekas di depannya, lalu dimasukkan ke dalam gerobak kusam di samping gubuk reot, tempat dia dan ketiga anaknya berteduh selama ini. Sesekali disekanya air mata dengan kerah daster kucel yang dipakainya. Pagi itu mendung, semendung perasaanya saat itu.

***

Gadis belia itu masih membisu. Sejuta angan bermain di kepalanya. Berhayal andai saja dia terlahir sebagai anak pengusaha sukses, pasti hidupnya akan bahagia, jauh dari penderitaan. Mau apa saja tinggal minta. Punya tas, sepatu dan baju bagus. Pulang pergi ke sekolah diantar dengan mobil mewah. Dan yang terpenting dia akan bisa terus sekolah, bahkan di sekolah elit dan bermutu sekali pun.
Diangkat kepalanya yang beberapa menit lalu masih tertunduk lesu itu. Dipandanginya sudut rumah sambil menghela nafas panjang. Matanya kembali menerawang jauh. Banyak hal sedang berkecamuk di pikirannya. Dia marah dengan hidupnya. Dengan nasibnya. Dan dengan ibunya. Dia menyesal terlahir sebagai anak pemulung. Dia kecewa dan kesal dengan ibunya yang tidak mau mengerti keinginannya untuk melanjutkan sekolah.
“ Cari makan makin sulit, lebih baik kamu berhenti aja,”
Kata-kata itu bagai pisau tajam menghujam ulu hatinya. Hatinya terluka, tercabik, dan berdarah. Ibunya seolah telah merampas harapannya. Menghancurkan impiannya. Seharusnya ibunya berusaha lebih keras mencari uang untuk membiayai sekolahnya. Seharusnya ibunya kerja sampingan selain memulung agar dia bisa tetap sekolah. Bukan menyuruhnya berhenti sekolah dan membantunya memungut kaleng dan kardus bekas.
Matanya berbinar, senyumnya sumringah, hatinya berbunga setiap kali mendengar pujian teman, guru, di sekolah, kalau dia anak yang pintar. Tapi kenapa ibunya tidak mau mengerti dengan keinginannya itu. Kenapa ibunya bilang bertahan hidup jauh lebih penting dari sekolah. Dia benar-benar marah pada ibunya. Dia tidak bisa menerima alasan wanita yang telah membesarkannya itu.
Seharian dia mendiamkan saja ibunya. Tidak mau bicara dan mogok makan. Kerjanya hanya bengong, malas-malasan dan tidur-tiduran di atas tikar pandan butut di sudut gubuk reot yang telah ditempati keluarganya selama empat belas tahun. Tepatnya sejak dia lahir.
Langit di luar mulai gelap. Angin malam berhembus kencang. Langkah-langkah kaki kecil perlahan mendekati, membuat dia tersentak dari lamunan dan bangkit dari pembaringan. Dipandanginya dua wajah tirus anak lelaki di hadapannya dengan tatapan kosong. Mereka tersenyum padanya. Namun dia tetap membisu. Mulutnya terkatup rapat-rapat. Tak berusaha tersenyum sedikit pun. (BERSAMBUNG)

PELANGI

PELANGI

Kuserahkan hatiku padanya, gadis jelita nan anggun yang setiap pagi selalu lewat di depan rumahku. Kusematkan rindu didada ini pada suaranya yang mendayu merdu. Kupautkan cintaku yang tulus pada senyumnya yang menyejukkan kalbu. Kuikatkan kasihku pada rambut panjang hitam terurai indah yang mempesonaku. Kuserahkan jiwa ragaku pada beningnya tatapan lembut bidadari ayu itu.

Bidadari yang tak pernah jemu kupandangi setiap hari melewati jalan setapak sepanjang bukit bambu. Bidadari yang paras ayunya membuatku terhanyut hingga ke dasar hati. Bidadari yang senyum manisnya menggetarkan ragaku hingga terbayang setiap waktu. Bidadari yang selalu kukagumi kerendahan hatinya. Bidadari yang selalu perduli dengan sesamanya, berbagi dengan orang sekitarnya. Bidadari yang selalu kuangankan agar bisa bersamanya. Menggapai cintanya.

Ya, aku ingin menggapai cintanya. Aku ingin menggapai hatinya. Aku ingin menggapai dirinya. Tapi aku tak berdaya. Aku tak kuasa. Tanganku terlalu rendah untuk menggapai dirinya yang tinggi di sana. Dirinya yang tak sebanding denganku. Diriku yang hanya seonggok daging lemah tak berdaya.

Aku hanya bisa memandangi wajahnya dari balik jendela kamar tidurku. Mengintipnya dari kejauhan dibalik tirai biru di lantai dua sebuah ruangan, tempat aku menjalani hari-hari sepiku. Melihatnya dari atas kursi roda yang hampir setahun menemani dukaku. Bagiku memandanginya dari kejauhan sudah cukup mengobati luka hatiku. Luka yang kutuai sendiri dari sikapku selama ini. Luka yang membuatku bagai orang terbuang tanpa teman, sahabat dan kekasih. Luka yang mencabik hati, perasaan dan juga tubuhku.
(bersambung)

05 Maret 2009

bukit bambu

Sepanjang jalan bukit bambu.. setahun yang lalu. Kenangan indahku bersamamu..masih kuingat saat itu.hujan rintik-rintik..kau genggam tanganku dan kau belai mesra rambutku..
sepanjang jalan bukit bambu...sebulan yang lalu..seseorang yang lain disisimu...bukan aku..kau genggam tangannya..kau belai rambutnya...
sepanjang jalan bukit bambu..kemarin...kau berjalan sendiri...hanya sendiri..tanpa siapapun disisimu...kau genggam angin...kau belai udara...wajahmu letih, lesu dan kuyu..
sepanjang jalan bukit bambu..pagi ini...tak ada siapapun disana....tidak ada dirimu.....kau telah pergi...selamanya..membawa kesombongan, kegetiran dan kepahitan. Hidupmu.....berakhir ditangan kekasihmu sendiri....
sepanjang jalan bukit bambu .....kenangan indah dan pahitku bersamamu...