19 Maret 2009

KISAH DUA TEMAN MASA KECILKU(HABIS)

Dalam perjalanan menuju ke tempatmu, aku melewati kebun Nek Syah, kamu masih ingat kan Wan, di kebun itu banyak batang jambu air. Dulu, kita sering mengambil buah jambu di sana. Tapi kalau musim perang-perangan tiba, justru bunganya yang kita petik, untuk peluru Bude Trieng. Aku ingat setiap kali main tembak-tembakan, aku pasti tertembak duluan, aku hanya meringis menahan sakit. Entah bagaimana caranya, kalian berdua selalu saja dapat menemukan tempat persembunyianku. Aku selalu kalah.
Siapa sangka Wan, Kemarin, kalian berdua main perang –perangan lagi. Tak ada aku di sana. Kamu, teman-temanmu, di satu pihak. Dia dan pasukannya, di pihak lain. Kali ini, kalian benar-benar saling menembak. Perang betulan. Bukan peluru dari bunga jambu lagi. Tapi dari timah. Dulu kalau kena peluru bunga jambu paling hanya sakit dan lebam di sekujur tubuh saja. Peluru tajam itu, merenggut kau dan Fikar, dari orang-orang yang kalian sayangi, dari saudara, sahabat, teman. Dan dariku.
Benarkah peluru yang bersarang didada Fikar senja itu dari timah panas yang kamu tembakkan. Dan apakah peluru yang menembusi jantungmu Justru keluar dari senjatanya. Membayangkan bahwa sore itu kalian saling menembak membuatku sangat terpukul. Tapi tak ada yang bisa kulakukan. Karena aku tak punya kekuatan untuk menghentikan semua itu. Tak ada dayaku mencegah peristiwa tragis itu.
Kau tahu Wan, aku sedang melayani pembeli saat mobil ambulans lewat di depan kiosku. Ambulans yang ternyata membawa jenazahmu di dalamnya. Semenit yang lalu orang-orang bilang telah terjadi kontak senjata di perbukitan. Deg! Jantungku berdegup kencang, perasaanku tiba-tiba tak enak.
Mataku gelap, kepalaku berkunang-kunang, Lututku lemas, aku tak sanggup lagi berdiri. Dan langsung terduduk lesu di depan kios begitu mendengar kau tertembak. Sesaat aku terdiam. Membisu. Sekuat apapun aku mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu mendengar kabar tentangmu, aku tetap tak kuat menerima kenyataan itu.
Umi! Aku ingat umi, tanpa perduli apapun lagi, dengan sisa tenaga, berlari ke rumahmu. Ku lihat Umi, duduk di ruang tamu, bersandar di tembok rumah. Diam, membisu, tak ada air mata. Sudah habis terkuras. Hatinya hancur, terpaku, menanti jasadmu di bawa pulang dari rumah sakit.
Sore itu, hari terkelam dalam hidupku. Kamu dan Fikar telah terenggut dari kehidupan ini. Apakah kamu tahu, saat kontak senjata itu, diantara pasukan yang kalian serang ada Fikar di dalamnya. Pertanyaan yang sama juga kutanyakan padanya tadi. Apakah dia tahu kamu yang memimpin serangan itu. Sempatkah kalian saling bertatap muka. Sempatkah kalian saling mengenal. Sempatkan kalian bertegur sapa, walau hanya sesaat. Sempatkah. Aku tak menemukan jawaban itu di sana. Dan aku juga tak akan menemukan jawaban itu darimu.

***
Lebaran bulan lalu, saat kamu pulang ke rumah, aku senang bertemu denganmu lagi. Meskipun waktu itu, kamu tampak kusut, rambut panjang, berkumis dan brewokan, sedikit kurus dan tak terurus. Aku senang melihatmu sehat dan masih hidup. Kamu tahu, aku cemas menantikan kepastian kabar tentangmu. Karena santer terdengar, kamu meninggal karena sakit tifus di hutan. Umi malah sempat pingsan mendengar isu itu. Aku dan istriku menemaninya selama dua hari di rumahmu. Wanita baik hati itu sangat terpukul atas berita yang dia dengar. Meski dia terlihat tegar sejak Abi menghilang dan Bang Lah meninggal, tapi aku yakin dia belum siap kehilangan kamu juga Wan.
Masih terngiang di telingaku kata-katamu agar aku menjaga Umi bila kamu pergi kelak. “Titip Umi ya kalau aku pergi, bantu dan sering-sering menjenguknya, aku percaya padamu,” pesanmu, sambil menggenggam erat tanganku. Matamu berkaca-kaca, sesaat kemudian mengalir tak terbendung. Kamu menangis. Pertama kalinya sejak kematian Bang Lah, aku melihat lagi air mata itu. Kamu hapus bulir-bulir bening yang keluar dari sudut mata kelam itu dengan ujung jarimu. Isak tangismu malam itu menyayat hatiku, perih!. Malam terakhir kalinya aku bertemu denganmu dalam keadaan hidup.
Kamu bertanya tentang teman-teman kecil kita, bagaimana kabar mereka sekarang. Termasuk Fikar. “Dia kan sudah jadi tentara, apa dia ikut tugas di sini,” tanyamu padaku saat itu. Meski kamu tidak mengungkapkan dengan kata-kata, aku yakin Wan, kamu merindukannya. Meski kamu berseberangan jalan dengannya. Tapi dari lubuk hatimu aku yakin, benar-benar yakin kalau kamu masih sangat menyayanginya.
Aku ungkapkan perasaanmu itu saat di pusaranya tadi, kalau kamu menanyakan kabarnya. Kalau kamu masih memperhatikannya, kalau kamu sebenarnya rindu ingin bertemu, sekali saja. Dan kalau kamu sesungguhnya tidak pernah membencinya, walau kalian tak sejalan.
Tadi aku juga menjelaskan padanya, mengapa kamu sampai menempuh jalan hidup bergerilya di hutan. Aku ingin dia mengerti alasanmu ikut pemberontakan. Mungkin dia sudah pernah mendengarnya dari saudara atau teman-teman kita. Tapi aku tetap ingin memberitahukan tentang perjalanan hidupmu, yang mungkin saja tidak diketahuinya. Karena setelah lulus Sekolah Menengah Pertama, dia pindah ke kota lain.
Kukatakan padanya, hari itu saat terjadi penggerebekan rumah warga di kampung kita, banyak yang diambil. Salah satunya Abi. Sejak itu tak ada kabar apapun tentang Abi, seperti hilang ditelan waktu. Peristiwa itu membuatmu sangat sedih dan mulai timbul rasa benci terhadap orang-orang yang telah merenggut kasih sayang dan belaian seorang ayah, dan tak kan pernah kembali lagi ke rumah. Saat itu kamu masih sangat muda dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Kamu baru ikut bergerilya setelah abangmu, pria yang sangat dikagumi dan disanjung Fikar, ditemukan tewas tertembak di dekat irigasi, tak jauh dari tempat kita biasa bermain layangan dulu. Bang Lah bukan hanya idola dia, tapi juga panutan semua orang, tua muda, anak-anak, pria dan wanita. Sifatnya yang santun dan suka menolong tetap menjadi kenangan sampai sekarang.
Fikar memang begitu mengagumi lelaki perkasa itu. Aku ingat suatu sore ketika sedang bermain petak umpet kakinya terkena pecahan kaca. Darah terus mengucur keluar dari kaki kanannya, dia mulai menangis. Seketika itu juga Bang Lah yang sedang memotong rumput, menggendongnya pulang ke rumah sambil menenangkannya. Karena Miwa Jah tidak ada di rumah, dia langsung membawanya ke rumah sakit.

***
Ketika jenazah Bang Lah dimakamkan, kamu bersumpah akan membalas kematiannya. “Aku akan membunuh orang-orang biadap itu, siapapun dia, akan kubalas, darah dibayar darah, nyawa dibalas nyawa,” teriakmu di pusara abang tersayangmu. Sejak saat itu kamu mulai keluar masuk hutan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Terlibat penyerangan demi penyerangan. Sehingga semakin hari semakin jauh dari rumah, kita pun jadi jarang bertemu.
Wan, aku berharap hal yang sama padamu, semoga kamu juga mengerti jalan hidup yang ditempuh Fikar. Kamu tahu kan, itu cita-cita masa kecilnya. “Kalau sudah besar aku mau jadi tentara dan menembak musuh, pasti asik dan menyenangkan, akan kutembak orang jahat banyak-banyak,” katanya saat kita tanyakan mau jadi apa dia nantinya. Apakah dia menikmati menembak musuh selama ini. Senangkah dia menembak orang-orang yang disebut pengacau itu. Apakah dia juga senang dan puas menembakmu. Apakah dia gembira dan kegirangan menyarangkan peluru ditubuhmu.
Cita-cita itu akhirnya mengantar dia dan kamu ke peristrirahatan terakhir. Di hari yang sama, dua teman masa kecilku tewas ditembus peluru. Kamu dengan prinsip, tugas, tujuan dan keyakinanmu. Fikar dengan prinsip, tugas, tujuan dan keyakinannya juga.
Sejak semalam aku menemani Umi. Dia telah kehilangan semuanya. Abi, Bang Lah dan Kamu. Dia tinggal seorang diri kini. Kami menghiburnya dari duka yang terus menerus dipikulnya. Dia terus berusaha tetap tegar dan kuat. Tapi mungkin hatinya hancur berkeping. Aku telah berjanji padamu akan menjaganya setelah kau tiada. Akan aku penuhi janji itu. Umi telah kuanggap sebagai ibuku sendiri.
Kamu tahu Wan, Umi sempat melihat jasad Fikar untuk terakhir kali. Dia berdoa dan mencium kening teman masa kecilmu itu. Dia meneteskan air mata melihat tubuh kaku yang terbaring dihadapannya. Lelaki yang dulu sering membantunya memetik kelapa. Aku tahu masih ada rasa sayang terhadap pria yang ketika kecil dulu sangat menyukai gule Pliek bikinannya. Tak ada kebencian di mata itu. Meski mungkin dia lah yang telah membuat buah hatinya, kamu, tewas diterjang peluru.
Langit mulai gelap. Sayup-sayup terdengar suara alunan ayat suci dari meunasah desa. Kelawar berkelompok terbang di angkasa. Daun-daun beringin terus berguguran. Belalang di daun jarak pun telah menghilang. Aku harus pulang. Tapi aku akan sering ke tempatmu dan Fikar. Berdoa di pusara kalian. Selamat tinggal teman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar