17 Maret 2009

KISAH DUA TEMAN MASA KECILKU ( I )

Langit di ufuk barat mulai kemerahan. Burung-burung berarak pulang ke sarang. Seekor belalang hinggap di daun jarak muda. Rumput ilalang bergoyang tertiup angin senja. Aku masih di sini, di depan gundukan tanah, tempatmu, teman masa kecilku beristirahat. Di bawah pohon beringin.
Di sana, dihamparan sawah, bocah-bocah kecil bertelanjang kaki asik bermain layangan, tertawa, bercanda riang. Seperti kita dulu, riang dan gembira. Masih kah kau ingat, Wan! Dulu, aku yang membuatkan layangan untukmu dan Fikar. Aku selalu mentertawai layangan hasil karya kalian yang tidak pernah mau naik menembus awan.
“Jangan tertawain aku, ajari gimana cara buatnya” begitu katamu, setiap kali aku mengejek layanganmu yang tidak mau mengangkasa itu. Berkali-kali aku mengajarimu, tapi layangan yang kau buat tak pernah bisa terbang. Ada kepuasan yang terpancar dari raut wajahmu bila layangan yang ku buat bisa naik setinggi langit. Pernah, kita keasikan main layangan hingga magrib, sehingga tidak shalat berjamaah di meunasah. Teungku Lem lalu menghukum kita, mengisi bak air wudhuk usai mengaji.
Pinggangku pegal. Sebentar-sebentar aku istirahat, duduk ngaso di teras meunasah. Kalian terus menimba air, tidak marah melihatku bermalas-malasan saja. Aku tahu, itu karena kalian mengerti dan sangat sayang padaku. Aku memang cepat capek karena badanku kurus dan sering sakit-sakitan. Tidak seperti kalian, yang tubuhnya sehat dan kuat. Badan kalian yang besar itu membuat teman-teman lain kalah kalau berantem. Bila ada anak yang mengejek dan menggangguku, kalian pasti siap membela.
“Jangan beraninya sama yang kurus, hadapi aku dan Fikar, ayooo..maju kalian” demikian tantangan yang kalian ucapkan kepada anak-anak bila mereka memukulku. Melihat tubuh kalian, mereka sering ketakutan dan lari terbirit-birit. Kalau pun ada yang berani menerima tantangan, mereka pasti kalah berkelahi.
Aku ingat ketika kalian memukul tangan Si Din, anak Cek Li yang kerja di Kantor camat, dengan galah karena membuang bola kastiku ke dalam selokan kotor dan bau. Ayahnya melaporkan kelakuan kalian kepada Abi, lalu kamu dimarahi dan dipukul pakai rotan oleh Abimu itu, tak ada suara tangis yang keluar dari mulutmu. Tak ada air bening yang tumpah dari sudut mata elangmu. Walau ada bekas di tangan dan punggungmu yang gagah, tapi kau tetap kuat dan tegar. Kini, tubuh yang kuat itu terbaring, di sini, di dalam gundukan tanah ini.
Langit semakin merah. Anak-anak itu mulai pulang, berjalan beriringan menyusuri pematang. Tangan mengamit layangan. Masih bersenda gurau dan tertawa lepas. Tanpa beban. Hampir satu jam aku disini, menemanimu Wan. Aku masih enggan beranjak pulang. Aku masih ingin bersamamu sesaat lagi. Masih banyak yang ingin kuceritakan....
Sebelum ke sini, aku baru saja dari tempat peristirahatan terakhir Fikar. Di sana, di samping tempat pembaringan terakhir ayahnya. Di sebelah rumah lama Miwa Jah. Ya, di sana kini dia tertidur panjang, di dekat rumah masa kecilnya, rumah di mana dia dilahirkan. Rumah yang dulu kita jadikan tempat persembunyian saat main petak umpet. Sesuai pesan terakhirnya. Dia terbaring di sana Wan, hanya beberapa ratus meter dari tempat peristirahatanmu sekarang.
Aku bilang padanya, kemarin pagi, aku baru melihat wajah gantengnya itu. Hanya dari kejauhan, saat dia menaiki truk, melempar senyum pada seorang anak kecil yang melintas dengan sepeda di depannya. Dia sempat melambaikan tangan, tersenyum pada Pakwa Gani, penjual buah, yang dulu sering kita mintai rokok daun nipah. Kamu tentu masih ingat, Fikar sering bergaya ala jagoan kalau lagi mengisap rokok daun.
“Sok gaya, coba kalau hebat, hembuskan asap seperti lingkaran,” tangtangmu saat itu.
“Baik, lihat aja, aku pasti bisa,” jawab Fikar enteng.
Dia lalu memperagakannya, asap rokok dihembuskan berbentuk lingkaran. Dia berhasil, sekali, kemudian dia batuk-batuk sambil membuang sisa rokoknya. Kita pun tertawa mengejeknya, begitu juga Pakwa Gani, dia ikut tersenyum, “jangan banyak merokok, nggak baik,” sarannya saat melihat bocah beralis tebal itu masih terbatuk-batuk.
Ya, kemarin, dia melambaikan tanganya pada lelaki yang sudah ubanan itu. Lambaian terakhir!! Aku terus menatapnya, dari balik pintu kios tempatku berjualan, sampai truk menghilang di persimpangan jalan. Itu kali kedua aku melihatnya di pos itu. Tapi aku tak berani untuk mendekatinya dan mengajaknya ngobrol. Aku takut dan malu. Padahal aku ingin sekali menyapanya. Menyapa teman masa kecilku itu. Mengajaknya bernostalgia setelah sebelas tahun tidak bertemu. Kalau saja aku tahu dia tak kan kembali lagi, aku akan memberanikan diri menyapa dan memeluknya walau hanya sedetik. Ya, walau sedetik. Aku menyesalinya.
Melihat senyumnya pagi itu, dia masih seperti Fikar yang dulu kita kenal Wan. Ramah dan murah senyum. Senyum yang menggemaskan Kak Nong. Senyum yang membuatmu mengejek dan mengatainya genit. “Kayak perempuan saja, senyum sini senyum sana,” komentarmu saat itu. Dia malah cengar cengir sambil menggoda gadis-gadis yang lewat di depan kita saat pulang mengaji. Dia terus mengumbar senyum sepanjang jalan malam itu. Dan hari ini, senyum itu hilang Wan. Telah hilang. Tak akan pernah terlihat lagi. Selamanya. (bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar