16 Maret 2009

PENYESALAN

Bersandar di batang mahoni yang lapuk, dia duduk terpaku menatap hamparan rumput. Sepotong kayu yang digenggam di tangan kanannya diketok-ketokkan ke tanah. Wajahnya kusut. Rambut sebahunya awut-awutan. Tangan kirinya diperban. Matanya menerawang jauh, dengan tatapan kosong. Tiba-tiba dia tengadahkan wajahnya ke langit. Dipandanginya langit mendung dengan gumpalan awan tebal dan pekat itu. Lama…lama…. Dan lama.
Gerimis mulai turun, membasahi tubuhnya yang diam terpaku, bergeming, bak pantung, tak bergerak. Kembali, ditengadahkan wajahnya ke angkasa. Dipejamkannya mata sendu itu. Hanya beberapa saat. Lalu perlahan dibukanya kelopak matanya. Perih! Dia merasakan tangannya begitu perih. Balutan perban dipergelangan tangannya memerah. Luka bekas sayatan pisau itu mengucurkan darah lagi. Angin menghempas keras kulitnya, menusuk sampai ke tulang. Dingin.
Pandanganya mulai samar, berputar, sesaat kemudian gelap. Dia terkulai layu di bumi. Angin senja terus berhembus menusuk pori-porinya. Gerimis pun ikut menemani. Tubuh itu tak bergerak, diam tergeletak di tanah. Beberapa saat.
Dia merasakan tubuhnya mulai hangat. Aroma melati tercium dari hidung bangirnya. Matanya terbuka sekejap, lalu menutup lagi. Kali ini, kelopak mata itu terbuka lama. Dia tertegun. Tempat itu terasa asing baginya. Lemari tiga pintu ukiran Jepara berdiri kokoh di depannya, dinding warna biru muda membuat sejuk matanya memandang. Kamar itu luas, indah dan cantik.
Aroma melati masih terasa menembus rongga hidungnya. Di sana, di atas meja kecil, di sudut ruangan, melati putih menjuntai dari vas coklat bermotif naga. Tempat tidur yang empuk menopang tubuhnya yang masih terbaring lemas. Dia merasa sangat nyaman dan damai. Dia masih terpaku, terpana seorang diri. Inikah surga?

***
“Kamu bantu ibu aja,”
Dia merajuk, duduk bersandar di tiang penyangga yang mulai keropos, di tengah-tengah ruangan pengap pagi itu. Mukanya ditekuk, pandanganya tertuju ke lantai tanah. Dimainkannya ujung rok motif kembang yang dikenakan dengan jari- jari tangannya. Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir tipisnya. Dia masih diam terpaku.
“ Kita tak punya uang sebanyak itu,”
Seorang wanita berbaju lusuh dan kumal berdiri di depannya. Perlahan dia melangkah, kakinya pincang, urat-urat di tangannya terlihat menonjol. Rambutnya mulai ubanan. Umurnya empat puluh tahun. Namun wajahnya terlihat jauh lebih tua dari usianya.
Didekatinya gadis yang sedang duduk didepanya. Dari tempatnya berdiri ditatapnya remaja yang sedang merajuk itu, dia lalu duduk tepat di hadapan anak perempuan yang tetap menundukkan kepalanya tersebut. Perlahan, dijulurkan tangannya ke kepala sang gadis, mencoba membelainnya. Namun tiba-tiba gadis itu menepis tangannya. Mata sayu perempuan itu tersentak kaget, badannya terdorong beberapa senti ke belakang. Rona kekecewaan terpanjar dari wajahnya. Jelas hatinya terluka! Sesaat dari sudut mata yang mulai berkerut itu mengalir air bening. Wanita itu menangis.
Dia bangkit dari tempat duduknya, dengan kaki yang terpincang-pincang, melangkah ke luar rumah bedeng itu. Sayup-sayup masih terdengar sesenggukannya. Diambilnya tumpukan kardus-kardus bekas di depannya, lalu dimasukkan ke dalam gerobak kusam di samping gubuk reot, tempat dia dan ketiga anaknya berteduh selama ini. Sesekali disekanya air mata dengan kerah daster kucel yang dipakainya. Pagi itu mendung, semendung perasaanya saat itu.

***

Gadis belia itu masih membisu. Sejuta angan bermain di kepalanya. Berhayal andai saja dia terlahir sebagai anak pengusaha sukses, pasti hidupnya akan bahagia, jauh dari penderitaan. Mau apa saja tinggal minta. Punya tas, sepatu dan baju bagus. Pulang pergi ke sekolah diantar dengan mobil mewah. Dan yang terpenting dia akan bisa terus sekolah, bahkan di sekolah elit dan bermutu sekali pun.
Diangkat kepalanya yang beberapa menit lalu masih tertunduk lesu itu. Dipandanginya sudut rumah sambil menghela nafas panjang. Matanya kembali menerawang jauh. Banyak hal sedang berkecamuk di pikirannya. Dia marah dengan hidupnya. Dengan nasibnya. Dan dengan ibunya. Dia menyesal terlahir sebagai anak pemulung. Dia kecewa dan kesal dengan ibunya yang tidak mau mengerti keinginannya untuk melanjutkan sekolah.
“ Cari makan makin sulit, lebih baik kamu berhenti aja,”
Kata-kata itu bagai pisau tajam menghujam ulu hatinya. Hatinya terluka, tercabik, dan berdarah. Ibunya seolah telah merampas harapannya. Menghancurkan impiannya. Seharusnya ibunya berusaha lebih keras mencari uang untuk membiayai sekolahnya. Seharusnya ibunya kerja sampingan selain memulung agar dia bisa tetap sekolah. Bukan menyuruhnya berhenti sekolah dan membantunya memungut kaleng dan kardus bekas.
Matanya berbinar, senyumnya sumringah, hatinya berbunga setiap kali mendengar pujian teman, guru, di sekolah, kalau dia anak yang pintar. Tapi kenapa ibunya tidak mau mengerti dengan keinginannya itu. Kenapa ibunya bilang bertahan hidup jauh lebih penting dari sekolah. Dia benar-benar marah pada ibunya. Dia tidak bisa menerima alasan wanita yang telah membesarkannya itu.
Seharian dia mendiamkan saja ibunya. Tidak mau bicara dan mogok makan. Kerjanya hanya bengong, malas-malasan dan tidur-tiduran di atas tikar pandan butut di sudut gubuk reot yang telah ditempati keluarganya selama empat belas tahun. Tepatnya sejak dia lahir.
Langit di luar mulai gelap. Angin malam berhembus kencang. Langkah-langkah kaki kecil perlahan mendekati, membuat dia tersentak dari lamunan dan bangkit dari pembaringan. Dipandanginya dua wajah tirus anak lelaki di hadapannya dengan tatapan kosong. Mereka tersenyum padanya. Namun dia tetap membisu. Mulutnya terkatup rapat-rapat. Tak berusaha tersenyum sedikit pun. (BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar