16 Maret 2009

PELANGI

PELANGI

Kuserahkan hatiku padanya, gadis jelita nan anggun yang setiap pagi selalu lewat di depan rumahku. Kusematkan rindu didada ini pada suaranya yang mendayu merdu. Kupautkan cintaku yang tulus pada senyumnya yang menyejukkan kalbu. Kuikatkan kasihku pada rambut panjang hitam terurai indah yang mempesonaku. Kuserahkan jiwa ragaku pada beningnya tatapan lembut bidadari ayu itu.

Bidadari yang tak pernah jemu kupandangi setiap hari melewati jalan setapak sepanjang bukit bambu. Bidadari yang paras ayunya membuatku terhanyut hingga ke dasar hati. Bidadari yang senyum manisnya menggetarkan ragaku hingga terbayang setiap waktu. Bidadari yang selalu kukagumi kerendahan hatinya. Bidadari yang selalu perduli dengan sesamanya, berbagi dengan orang sekitarnya. Bidadari yang selalu kuangankan agar bisa bersamanya. Menggapai cintanya.

Ya, aku ingin menggapai cintanya. Aku ingin menggapai hatinya. Aku ingin menggapai dirinya. Tapi aku tak berdaya. Aku tak kuasa. Tanganku terlalu rendah untuk menggapai dirinya yang tinggi di sana. Dirinya yang tak sebanding denganku. Diriku yang hanya seonggok daging lemah tak berdaya.

Aku hanya bisa memandangi wajahnya dari balik jendela kamar tidurku. Mengintipnya dari kejauhan dibalik tirai biru di lantai dua sebuah ruangan, tempat aku menjalani hari-hari sepiku. Melihatnya dari atas kursi roda yang hampir setahun menemani dukaku. Bagiku memandanginya dari kejauhan sudah cukup mengobati luka hatiku. Luka yang kutuai sendiri dari sikapku selama ini. Luka yang membuatku bagai orang terbuang tanpa teman, sahabat dan kekasih. Luka yang mencabik hati, perasaan dan juga tubuhku.
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar